Analisis pembentukan militer Jepang
Sejarah
Melkyfallo
Pertanyaan
Analisis pembentukan militer Jepang
1 Jawaban
-
1. Jawaban sasamicin
Hambatan bagi remiliterisasi Jepang
Pasifisme pasca perang Jepang bukan berarti tidak bisa diubah. Pasifisme tersebutsudah mulai terpecah. Terdapat sejumlah hambatan bagi “remiliterisasi” Jepang.
1. Dengan adanya fakta bahwa Jepang belum bisa mencapai kesepakatan denganagresi pra-perangnya di Asia, setiap langkah yang dilakukannya untuk menjadi suatu kekuatan besar militer akan menimbulkan kewaspadaan di kalangantetangganya, khususnya China dan Korea Selatan yang sangat mencurigai niatan Jepang.
2. Defisit anggaran saat ini, ditambah dengan prospek peningkatan besar di masa depan dalam pengeluran kesejahteraan untuk memenuhi kebutuhan populasi Jepangyang semakin cepat menua, akan membatasi sumber-sumber daya yang ada untuk pertahanan.
3. Terlepasdari ketidak-puasan terhadap basis-basis Amerika Serikat dan kepentingan dalam suatu peran SDF yang lebih besar, kebanyakan orang Jepang menentang peningkatan pengeluaran pertahanan dan mendukung kelanjutan ketergantungan pada aliansi Amerika Serikat.
4. Badan pertahananJepang merupakan suatu “saudara yang lemah” di dalam pemerintah Jepang, yang didominasi oleh kementerian-kementerian yang lebih kuat sepertikeuangan, luar negeri, dan perdagangan internasional dan industri.
SDF tetap menjadi “quasi-militer” (Setengah militer) yang dikekang olehsejumlah pembatasan legal/hukum dan politik, dan yang masih dilihat denganrasa curiga atau ketidak-pedulian oleh banyak orang Jepang
Sebagaimana Jepang, Cina pun menganggap Jepang sebagai salah satu sumber ancaman keamanan terbesarnya (Crane, et.al., 2005). Persepsi ancaman ini dilandasi oleh sejarah ekspansi yang dilakukan Jepang terhadap Cina di masa lalu. Para pemimpin dan perancang strategi Cina selalu waspada terhadap terhadap kebangkitan Jepang sebagai kekuatan militer. Bagi mereka perubahan doktrin, struktur pertahanan dan gelar kekuatan yang dilakukan Jepang merupakan bukti upaya Jepang untuk meningkatkan kemampuan militer dan meningkatkan pengaruhnya di kawasan. Selain itu, Cina juga menaruh perhatian terhadap kerjasama keamanan antara Jepang dan AS. Cina memiliki ketakutan bahwa tanpa disadari, AS mempersenjatai kembali Jepang melalui perdagangan bilateral di bidang senjata dan teknologi pertahanan, khususnya kerjasama sistem pertahanan rudal. Kecemasan ini beralasan mengingat pada tahun 2004, AS dan Jepang telah menandatangani kerjasama sistem pertahanan rudal.
Bagi Cina, kerjasama pertahanan militer AS-Jepang ditakutkan merupakan sebuah strategi regional untuk menghambat dan membendung pengaruh Cina di Asia.
Dengan lemahnya CBMs, maka solusi yang diambil Cina berkaitan dengan melanjutkan terus program modernisasi militernya untuk menandingi peningkatan kemampuan militer Jepang. Jika ini yang terjadi maka kompetisi persenjataan di Asia Timur akan terus berlanjut. Sebagaimana dijelaskan oleh Andrew Mack & Desmond Ball bahwa ketakutan terhadap kebangkitan Cina dan Jepang merupakan salah satu alasan terjadinya modernisasi dan kompetisi persenjataan di Asia Timur (Mack & Ball, SDSC Working Paper, 1992). Hingga kini modernisasi dan kompetisi tersebut terus berlanjut. Hal ini dapat dilihat berdasarkan laporan SIPRI. Pada tahun 2000-2004, pengiriman senjata ke Asia merupakan yang tertinggi di dunia sebesar US$33.573 juta. Sebagai perbandingan, pengiriman senjata ke kawasan Amerika adalah US$6.932 juta, Afrika US$5.130 juta, Eropa US$21.875 juta, Timur Tengah US$ 14.517 juta